Kitab Riyadus Shalihin adalah sebuah
kitab yang sangat masyhur dalam dunia Islam. Kitab ini telah dijadikan
pegangan selama ratusan tahun bagi para ulama, pelajar dan penuntut ilmu
agama di belahan dunia. Di Indonesia sendiri kitab Riyadus Shalihin ini
merupakan salah satu ‘kitab wajib’ bagi seluruh pesantren.
Pengarang kitab Riyadus Shalihin adalah Al Imam Al ‘Alamah al Muhaddits, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an Nawawi ad Dimasqi as Syafi’i, beliau dikenal sebagai ulama paling ‘alim pada zamannya, zuhud dan wara’, serta kuat beramal sholeh. Dilahirkan di sebuah desa bernama Nawa dekat Damsyik, Suriah pada tahun 631 H. Beliau mulai menuntut ilmu di sebuah sekolah agama milik Habbatullah bin Muhammad Al Anshori yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rawahah. Madrasah itu bernama Madrasah Ar Rawahiyyah. Imam Nawawi belajar di Madrasah ini mulai tahun 649 H, saat berusia delapan belas tahun, kemudian melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Darul Hadits di Madrasah Usruniah. Beliau wafat di desanya sendiri yaitu desa Nawa, Damsyik, Suriah, pada tahun 676 H pada usia 45 tahun. Meskipun beliau belum sempat menikah seumur hidupnya, namun sebagai penghormatan, kaum muslimin tetap menggelarinya ‘Abu Zakaria’, yang menggambarkan seolah-olah beliau pernah memiliki seorang putra.
Riyadus Shalihin yang diartikan sebagai pelatihan orang-orang shalih, dibahas menjadi 19 kitab yang terbagi atas 372 Bab dan menyertakan sebanyak 1900 hadis. Dalam metode penulisannya, Imam Nawawi mengemukakan ayat-ayat Qur’an sebagai dalil utama untuk menguatkan dalil penyokong atas kitab yang akan dibahas, kemudian baru menyertakan dalil-dalil hadis sebagai penjabaran atas bab-bab yang dibahas tersebut.
Di dalam mukaddimah kitabnya, Imam Nawawi mengatakan bahwa kitabnya itu mengandung hadis-hadis yang beliau kutip dari Kutubussittah (enam kitab utama), yaitu kitab hadis yang paling utama dalam Islam. Dan secara tegas dikatakan bahwa beliau hanya mengutip hadis-hadis yang shahih dari kitab-kitab yang masyhur itu. Dengan demikian tidak akan ada satu hadis dho’if pun yang dimasukkan ke dalam kitab ini. Dalam hal ini, para ulama se-dunia selama ratusan tahun sudah membuktikan kebenaran ucapan Imam Nawawi itu. Selanjutnya, dalam perjalanan sejarah, kitab Riyadus Shalihin terbukti telah berhasil membantu para ulama untuk membentuk murid-murid mereka di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, atau pada majelis-majelis ta’lim di masjid-masjid di seluruh Indonesia.
Syaikh Muhamamd bin Allan as-Shiddiqi as-Syafi’i al-Asy’ari al-Makki, seorang ulama Hijaz yang wafat pada tahun 1057 H telah pula mensyarahkan kitab Riyadus Shalihin Imam Nawawi ini ke dalam sebuah kitab yang berjudul Dalilul Falihin Li Thariqi Riyadis Shalihin sebanyak 4 jilid tebal. Kitab Syarah Riyadus Shalihin ini juga sangat terkenal di sisi para ulama ahlusssunnah wal jama’ah di dunia Islam, khususnya bagi para ulama dan santri di tanah air Indonesia.
Latar Belakang Pandangan
Imam Nawawi Rahimahullah adalah seorang ulama besar dalam fiqih mazhab Syafi’i yang telah mencapai derajat yang tinggi yaitu mujtahid fatwa. Seluruh pembahasan yang menyentuh masalah fiqih dalam kitab ini pasti selaras dengan tuntunan syariat dalam mazhab Syafi’i pula. Sedangkan dalam pemahaman aqidah, beliau dikenal sebagai ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Al Asy’ariyah. Tidak heran jika dalam pembahasan masalah aqidah, beliau selalu berpegang teguh pada mazhab ahlusunnah wal jama’ah yang melatar belakangi pendidikan serta faham beliau semasa hidupnya.
Sebagaimana dimaklumi, akidah ahlussunnah wal jama’ah al Asy’ariyah senantiasa mengamalkan ta’wil atas sifat-sifat Allah yang mutasyabihat kepada sifat-sifat Allah yang muhkamat. Sebagai contoh jika bertemu dengan ungkapan “Tangan Allah”, akan dita’wil menjadi “Kuasa Allah”, “Muka Allah” dita’wil dengan “Zat Allah”. Ini dimaksudkan agar terhindar dari faham Mujassimah, yang menggambarkan seolah-olah Allah punya jasad, mirip dengan makhluk-Nya. Sedangkan ungkapan “Allah Turun” dita’wil menjadi “Allah menurunkan rahmat-Nya”, Allah “duduk” menjadi “Allah berkuasa”, dan lain-lain sebagainya. Beliau menghindari faham yang menyerupakan Allah dengan sifat makhluk seperti: “duduk”, “naik”, “turun”, ‘bertempat tinggal pada tempat tertentu’, ‘tertawa’, dan lain-lain. Ta’wil yang beliau lakukan ini sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan hadis-hadis shahih yang muhkamat, agar terhindar dari kemiripan dengan faham Musyabbihah, yang memahamkan Allah itu mempunyai sifat mirip dengan makhluk-Nya..
Untuk pembahasan masalah fiqih, yakni yang berkaitan dengan masalah hukum ahkam agama, beliau dengan mantap berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i. Itulah mungkin yang menjadi salah satu penyebab kenapa kitab Riyadus Shalihin ini sangat populer di Indonesia, di mana memang hampir seratus persen kaum muslimin Indonesia telah menganut mazhab Syafi’i selama ribuan tahun.
Pembahasan Isi Kitab
Diawali dengan ‘kitab Ikhlas’, beliau membuka dengan manis kitab Riyadus Shalihin itu dengan menyertakan ayat-ayat Qur’an yang mendukung pembahasan kitab ikhlas tersebut. Hampir seluruh isi kitab ini mengandung ruh akan dorongan menghambakan diri kepada Allah serta ‘memupuk’ amal shalih. Mayoritas isi pada kitab-kitab awal adalah mengenai masalah hati dan kebersihan jiwa. Seperti masalah ikhlas niat, taubat, sabar, shiddiq, murraqabah, yaqin, tawakal, istiqamah, mujahadah, hemat, rajin, zuhud, qana’ah, dermawan, tolong-menolong, nasehat, amar ma’ruf-nahi mungkar, amanat, dan menghindari kezaliman.
Pada bagian berikutnya beliau menekankan kepada masalah muamalat mu’asyarah, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia bermasyarakat sebagai makhluk sosial, seperti: mendamaikan manusia, berbelas kasih pada anak yatim, orang miskin, menjaga hak wanita, hak suami dan istri, belanja keluarga, hak-hak tetangga, orang tua, anak dan keluarga, menghormati ulama, kaum kerabat, orang-orang sholeh dan lain-lain.
Pada pembahasan masalah moral dan adab, beliau menekankan juga tentang perihal keadilan, hubungan antara rakyat dan pemimpin, menjaga adab kesopanan terhadap orang hidup maupun orang mati, sampai adab-adab pribadi untuk diamalkan sehari-hari, tidak luput dari pembahasan beliau. Sedemikian lengkapnya, sehingga urusan pribadi umat dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, secara ‘manis’ dan rapi beliau bahas satu persatu.
Dalam masalah syariat, secara panjang lebar beliau membahas pula hukum-hukum dalam berbagai masalah; mulai dari masalah berpakaian, wudhu, sholat-sholat wajib, sholat-sholat sunat, puasa sunat, ziarah kubur, sumpah, jual-beli, dan lain-lain dengan menyertakan adab-adab dan kesempurnaan amal, lengkap dengan fadhilah amal, sehingga tidak monoton membahas masalah pokok fiqihnya saja. Pembahasan kitab ini diakhiri dengan indah pada Bab Istighfar, mulai dari dalil perintah beristighfar sampai kelebihan orang-orang yang beristighfar.
Sanjungan dan Kritik
Namun begitu, walau sudah berjuta orang yang menyanjung Imam Nawawi dengan kitab Riyadus Shalihin nya, ternyata ada juga segolongan kecil orang-orang yang mulai mengkritisi kitab beliau. Munculnya kritikan atas Riyadus Shalihin memang terjadi hanya pada sepuluh tahun terakhir ini saja. Kritikan bermula dari seorang ulama di Timur Tengah asal Albania, yang membongkar pasang hadis-hadis terpilih dalam kitab tersebut. Nama ulama itu adalah Muhammad Nashiruddin al Albani. Beliau menulis sebuah buku yang berjudul Riyadus Shalihin yang katanya ditahqiq oleh jamaah dari ulama-ulama, dan di-takhrij-kan oleh Muhammad Nasiruddin al Albani sendiri. Judul yang ditulis di dalam kitabnya itu adalah Riyadus Shalihin, Jamiul Huquq Mahfuzhoh lil Maktabil Islami, cetakan Maktabul Islami, Beirut.
Dalam kitabnya ini, Albani telah mendhoifkan sebanyak 40 buah hadis, yang kesemuanya telah dinyatakan shahih atau minimal hasan shahih oleh Imam Nawawi. Hasil kutipan beliau dari perawi-perawi kitab yang enam antara lain; Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ke-40 hadis didhoifkan Albani tersebut antara lain: Hadis nomor 67, 201, 292, 347, 363, 378, 413, 486, 490, 524, 583, 589, 601, 717, 736, 794, 802, 834, 894, 895, 896, 917, 951, 954, 1007, 1067, 1393, 1394, 1402, 1501, 1547, 1577, 1585, 1649, 1654, 1679, 1686, 1731, 1863, dan 1882 kesemuanya ada 40 hadis.(Lihat mukaddimah al Albani, halaman 11).
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa al Albani dan para pengikutnya secara tegas telah melarang keras mengutip dan mengamalkan hadis-hadis dho’if. Dengan demikian, maka orang-orang yang membaca kitab-kitab mereka akan dikhawatirkan akan terpengaruh, dan mengikuti faham mereka. Muaranya, mereka akan menganggap enteng semua hadis yang dinyatakan dhoif dari kitab Riyadhus Shalihin itu. Sesuatu yang sebenarnya dapat merugikan amalan umat.
Langkah al Albani ini telah diikuti pula oleh ulama-ulama Timur Tengah seperti DR. Musthafa Said al Khin, Muhidin Mistu dan kawan-kawan dengan judul “Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadis Shalihin min Kalami Sayidil Mursalin”, dua jilid tebal. Juga Salim bin Ied al Hilali, salah seorang murid al Albani yang juga mengarang kitab berjudul “Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadis Shalihin”. Kesemua kitab-kitab syarah ini bertaqlid kepada Muhammad Nashiruddin al Albani, baik dalam takhrij hadis maupun dalam metode pensyarahannya.
Dari Timur Tengah, gerakan kritik ini menjalar juga ke Indonesia. Meskipun sampai saat ini belum ada pengikut Albani Indonesia yang berani menampilkan diri sebagai pensyarah kitab, tetapi mereka gigih menterjemahkan kitab-kitab kelompok pengkritik, dan menerbitkannya dalam edisi bahasa Indonesia, antara lain ‘Nudzatul Muttaqin’ diterjemahkan oleh Muhil Dhorir, disunting oleh Abdul Hakim, dan diterbitkan oleh Al-I’tishom tahun 2005. Sedangkan Bahjatul Nazhirin diterjemahkan M. Abdul Ghaffar dan diedit oleh Ustad Mubarak BM Bamuallim Lc, dan diterbitkan oleh Pustaka Imam As Syafi’i. Belakangan Nuzhatul Muttaqin diterbitkan kembali dalam cetakan terbaru yang diterjemahkan oleh Ibnu Sunarto dan Aunurrofiq Sholeh Tamhid, dengan Penerbit Rabbani Press. Cetakan ini menyertakan takhrij hadis oleh Nashiruddin al Albani.
Sementara di dalam pensyarahan isi kitabnya, para pengkritik tanpa malu-malu meninggalkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah al Asy’ari dari pembahasannya, bila bertemu dengan masalah-masalah yang menyangkut aqidah terutama yang membahas sifat-sifat Allah. Dengan tegas mereka menuliskan bahwa Allah punya muka, tangan, kaki, duduk di ‘Arasy, naik, turun, bertempat di langit dan lain-lain sebagainya. Hanya saja dengan tambahan kata bahwa sifat-sifat Allah tersebut tidak serupa dengan sikap makhluk-Nya. Jauh bedanya dengan Imam Nawawi dan Syekh Muhammad ‘Allan dalam Dalilul Falihin-nya, yang menta’wilkan sifat-sifat mutasyabihat kepada sifat-sifat muhkamat.
Sedangkan dalam pembahasan masalah fiqih, Al Hilali misalnya, dengan tegas mengatakan dalam mukaddimah kitabnya, bahwa beliau tidak mengambil dari sumber kitab fiqih yang ada, (tentu termasuk fiqih madzhab Syafi’i, salah satu dari madzhab yang empat), tetapi langsung mengambil kepada Qur’an dan hadis-hadis yang shahih saja. Tetapi jika diperlukan, katanya dia akan merujuk pada pendapat Syekh Ibnu Taymiyah dan muridnya Syekh Ibnu Qayyim al Jauziyah, sebagai rujukan utama. Padahal seluruh ulama Indonesia tahu betul bahwa kedua Syekh tersebut adalah pendiri dan guru besar dalam madzhab Salafi, di mana banyak fatwa dan ajarannya tak sejalan dengan keempat madzhab yang ada, terutama madzhab Syafi’i, yang dianut Imam Nawawi dan mayoritas umat Islam Indonesia. Dalam kaidah ilmu, tindakan mensyarahkan kitab seseorang dengan melawan isi dan pemikiran penulis asli, adalah tindakan yang tercela!
Tidak heran bila akhir-akhir ini mulai timbul ‘riak-riak’ kecil di masyarakat dan timbul pertengkaran mengenai amalan mereka yang tiba-tiba dinyatakan dho’if bahkan bid’ah oleh pengikut dan pembaca yang mulai terpengaruh dengan kitab-kitab para pengkritik ini.
Penulis mencoba meneliti kitab yang ditulis oleh Nasiruddin al Albani dan al Hilali kemudian membandingkannya dengan Riyadus Shalihin asli yang dikarang oleh Imam Nawawi, maka ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya, al Albani telah mendhoifkan atas sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim pada nomor 1654. Berlawanan dengan itu, pada hadis Muslim, nomor hadis 1063, tentang kitab kejadian alam yang memakan masa 7 hari, al Al bani justru membela hadis ini, meskipun matannya, menurut al Baihaqi dan lainnya dinilai ta’arudh (bertentangan) dengan makna ayat Qur’an yang mengatakan kejadian alam itu 6 hari. Al Albani juga memunkarkan hadis nomor 894 yang telah dishahihkan oleh Imam Nawawi.
Namun begitu, ada juga hadis-hadis yang dihasan-shohihkan dalam kitab asli Imam Nawawi justru menurut al Albani dan Al Hilali naik derajat menjadi shahih, di antaranya hadis nomor 521 dan 584.
Penulis mendapati ada juga kekeliruan al Albani dalam penulisan kitabnya, dimana beliau mengatakan pada mukaddimah kitabnya bahwa hadis nomor 490 adalah dhoif, ternyata di dalam isi kitab, yang dhoif adalah nomor 488, bukan nomor 490. Sebuah keteledoran yang tidak layak terjadi atas seorang sekaliber beliau.
Nampaknya, perjuangan al Albani mendhoifkan 40 hadis dalam kitab Riyadus Shalihin mulai luntur sebelum mencapai waktu satu dasawarsa. Pertama, justru datang dari muridnya sendiri, Salim ‘Ied Al Hilali yang dengan nyata-nyata mengatakan bahwa beberapa hadis yang didhoifkan dalam kitab Riyadus Shalihin ternyata memiliki hadis-hadis penyokong lain yang menyebabkan derajatnya naik menjadi hadis hasan lizatihi atau hadis hasan li ghoirihi.
Belum lagi para ulama pengikut empat mazhab yang mulai bangkit dan memberikan perlawanan atas para pengkritik tersebut. Salah satunya adalah Syaikh Hasan Ali Syaqqaf asal Suriah, dalam kitabnya Tanaqhudhat al Albani al Wadhihah (Plin-plannya al Albani). Syekh Utsaimin, ulama besar Saudi Arabia, turut juga mengkritik al Albani dalam kitabnya ‘Syarah Aqidah Washithiyah’. Sementara di tanah air, terbit buku berjudul “Membongkar Kebohongan ‘Buku Mantan Kiyai NU Menggugat Shalawat Syirik’” Ditulis oleh LBM Nahdhatul Ulama, Jember, Muhyiddin Abdul Shomad dkk.
Wallahu a’alam bishowab
0 komentar